Kemiskinan di
Indonesia tak pernah selesai diperbincangkan.
Dalam regim Orde Baru, pak Harto
sempat mengundang seorang Rostow untuk mendesain arah pembangunan ekonomi
Indonesia. Dalam batas tertentu resep dari Rostow hampir saja menghantarkan
Indonesia menjadi salah satu negara industri baru (NICs) ataupun Macan Asia.
Suharto ketika itu mengklaim bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun
1995, tinggal sekitar 17 juta, sebelum akhirnya membumbung tinggi kembali
setelah ekonomi Indonesia dihantam badai krisis.
Sedemikian
terpesonanya SBY terhadap Hernandes de Soto dalam memaparkan proses pengentasan
kemiskinan melalui pengakuan aset modal kaum miskin dalam bentuk sertifikasi,
sehingga kaum miskin bisa masuk dalam jaring-jaring perputaran modal.
Sampai-sampai, SBY kemudian menghendaki de Soto menjadi salah satu penasehat
Presiden dalam hal pengentasan kemiskinan. Nasehat de Soto tampaknya tidak
dijalankan setelah 6 bulan berselang, kali ini SBY menggelar kuliah dari
seorang pakar pengentasan kemiskinan Bangladesh, Muhammad Yunus dengan konsep
Greemen Bank. Apakah ini nasib nasehat Yunus hanya masuk telinga kanan dan
keluar telinga kiri di kalangan top eksekutif kita ?
Tulisan ini akan
melakukan analisis kritis terhadap berbagai metode pengentasan kemiskinan yang
dilakukan pemerintah SBY-JK dalam dua tahun terakhir dan memberikan solusinya .
Hal ini terkait juga dengan beberapa iklan layanan pengentasan kemiskinan yang
menggunakan paradigma yang belum berubah ataupun sinyal proses pengentasan
kemiskinan yang masih berwatak oligharkhie..
Top Down Model
Fenomena
kemiskinan telah menjadi perhatian yang sangat serius di tingkat pemerintah.
Regim Orde Baru telah mengeluarkan berbagai paket kebijakan untuk pengentasan
kemiskinan, baik paket Bangdes, Subsidi, dan Kredit Mikro seperti KCK (Kredit
Candak Kulak), KUT (Kredit Usaha Terpadu) sampai dengan program IDT (Inpres
Daerah Tertinggal). Bahkan Suharto mengeluarkan Deklarasi Jimbaran untuk
memaksa para konglomerat untuk memberikan bantuan bagi pengentasan kemiskinan
di Indonesia.
Regim reformasi,
baik pada masa Gus Dur ataupun Megawati telah mengeluarkan berbagai kebijakan
kredit lunak dan subsidi kepada keluarga miskin. Bahkan dalam tahun 2005,
sebagai implikasi naiknya harga BBM yang melambung tinggi, pemerintah
mengeluarkan paket Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bukan hanya itu, regim SBY
bahkan membuat 3 kementerian yang bertugas langsung untuk mengentaskan kemiskinan,
yakni Menteri Sosial, Kesejahteraan Rakyat dan Daerah Tertinggal. Bahkan akan
ditambah kehadiran Hernandes de Soto sebagai penasehat presiden dalam
pengentasan kemiskinan.
Namun logika dan
paradigma pengentasan kemiskinan masih berbasis top-down. Pemerintah cenderung mengeluarkan paket kebijakan yang
seringkali tidak dimengerti arah dan kegunaannya bagi masyarakat miskin. Bahkan
banyak orang yang sebenarnya tidak miskin, “mengaku” miskin agar mendapatkan
segepok fasilitas keluarga miskin, seperti beras murah dan pelayanan kesehatan
gratis. Bagaimana tidak sekarang ini dana Askeskin bangkrut, baik karena
penyimpangan di tingkat kebijakan ataupun ditingkat operasional. Rumah sakit
sebagai pelaksana teknis tidak mau dipersalahkan karena pada prinsipnya mereka
hanya melayani pasien. Bagaimana pula dengan adanya political will pemerintah untuk mendesak kepada perusahaan
melakukan corporate social responsibility
(CSR) tidak jelas, bahkan banyak dipertanyakan kalangan dunia usaha, baik
karena persoalan mekanisme yang tidak komprehensif sampai ketidakpastian CSR
dengan pembayaran pajak..
Berbagai fenomena
pengentasan kemiskinan ini mensiratkan terjadinya Oligharkisme. Yakni
pemerintah senantiasa memposisikan diri sebagai fihak yang paling tahu tentang
cara pengentasan kemiskinan dan menempatkan masyarakat miskin sebagai obyek
semata dan powerless, sehingga ada
semacam klaim bahwa rakyat miskin tidak memiliki konsep untuk pengentasan
kemiskinan terhadap dirinya. Langkah ini setidaknya sebagai cara menutupi ketimpangan
pengelolaan strategi pembangunan yang cenderung memiskinkan sekelompok tertentu
sebagai implikasi pemilihan stategi pertumbuhan ekonomi secara masif dan tidak
mengimbanginya dengan strategi redistribusi pendapatan yang proporsional.
Justru oligharkisme
kebijakan pengentasan kemiskinan inilah yang akan menciptakan komunitas
masyarakat miskin palsu, yakni banyaknya keluarga tidak miskin mendapatkan
asistensi pemerintah dengan merampas hak masyarakat miskin itu sendiri. Kondisi
terdukung oleh ketidakberadaan data kemiskinan terpadu lintas lembaga, yang
membuat celah bagi para orang miskin palsu ini masih besar. Seberapapun paket
kredit, subsidi yang diberikan pemerintah namun tidak disertai dengan paradigma
pengentasan kemiskinan dan data yang akurat hanya akan menghasilkan kesia-siaan
bahkan semakin memarginalkan orang miskin.
Paradigma Baru
Paradigma
pengentasan kemiskinan sudah selayaknya menempatkan orang miskin sebagai bagian
elemen yang paling signifikan untuk dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan
pengentasan kemiskinan sebagaimana nasehat Muhammad Yunus. Meskipun orang
miskin adalah orang yang papa dan hopeless
namun bukan berarti mereka tak punya ide cerdas yang sangat mungkin bisa
mengurai benang kusut kemiskinan yang sedang melilitya.
Setidaknya ide
cerdas Muhammad Yunus yang membuat Bank bagi kaum Miskin , Grameen Bank,
membuktikan bahwa kaum miskin adalah masyarakat yang masih memiliki setumpuk
ide dan harga diri, dan mampu bangkit dari keterpurukan dari sistem yang selama
ini menjeratnya.
Segenap elemen
bangsa, baik pemerintah, lembaga filantropi yang semakin marak, perusahaan
dengan CSR-nya, lembaga keuangan, organisasi sosial-keagamaan-politik, lembaga
pendidikan, dan komunitas masyarakat miskin harus bertanggung jawab untuk
menjawab proses pengentasan kemiskinan secara sinergik. Tradisi oligharkhisme
sedapat mungkin harus dipangkas, sehingga lembaga penyalur dana pengentasan
tidak lagi menjadi “dewa” yang menentukan secara sefihak paket dan kebijakan
pengentasan kaum papa.
Keberanian
lembaga penyalur dana untuk sharing secara
terbuka kepada kaum papa akan membangkitkan perasan egaliter bagi si-penerima
paket bantuan. Tidak ada yang lebih mulia antara yang memberi dan menerima,
semuanya adalah mulia jika mereka mempergunakan dana pengentasan kemiskinan
secara amanah dan transparan. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar