Senin, 21 November 2011

Kemiskinan di Indonesia tak pernah selesai diperbincangkan.


Kemiskinan di Indonesia tak pernah selesai diperbincangkan
Dalam regim Orde Baru, pak Harto sempat mengundang seorang Rostow untuk mendesain arah pembangunan ekonomi Indonesia. Dalam batas tertentu resep dari Rostow hampir saja menghantarkan Indonesia menjadi salah satu negara industri baru (NICs) ataupun Macan Asia. Suharto ketika itu mengklaim bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 1995, tinggal sekitar 17 juta, sebelum akhirnya membumbung tinggi kembali setelah ekonomi Indonesia dihantam badai krisis.
Sedemikian terpesonanya SBY terhadap Hernandes de Soto dalam memaparkan proses pengentasan kemiskinan melalui pengakuan aset modal kaum miskin dalam bentuk sertifikasi, sehingga kaum miskin bisa masuk dalam jaring-jaring perputaran modal. Sampai-sampai, SBY kemudian menghendaki de Soto menjadi salah satu penasehat Presiden dalam hal pengentasan kemiskinan. Nasehat de Soto tampaknya tidak dijalankan setelah 6 bulan berselang, kali ini SBY menggelar kuliah dari seorang pakar pengentasan kemiskinan Bangladesh, Muhammad Yunus dengan konsep Greemen Bank. Apakah ini nasib nasehat Yunus hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri di kalangan top eksekutif kita ?
Tulisan ini akan melakukan analisis kritis terhadap berbagai metode pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah SBY-JK dalam dua tahun terakhir dan memberikan solusinya . Hal ini terkait juga dengan beberapa iklan layanan pengentasan kemiskinan yang menggunakan paradigma yang belum berubah ataupun sinyal proses pengentasan kemiskinan yang masih berwatak oligharkhie..
Top Down Model
Fenomena kemiskinan telah menjadi perhatian yang sangat serius di tingkat pemerintah. Regim Orde Baru telah mengeluarkan berbagai paket kebijakan untuk pengentasan kemiskinan, baik paket Bangdes, Subsidi, dan Kredit Mikro seperti KCK (Kredit Candak Kulak), KUT (Kredit Usaha Terpadu) sampai dengan program IDT (Inpres Daerah Tertinggal). Bahkan Suharto mengeluarkan Deklarasi Jimbaran untuk memaksa para konglomerat untuk memberikan bantuan bagi pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Regim reformasi, baik pada masa Gus Dur ataupun Megawati telah mengeluarkan berbagai kebijakan kredit lunak dan subsidi kepada keluarga miskin. Bahkan dalam tahun 2005, sebagai implikasi naiknya harga BBM yang melambung tinggi, pemerintah mengeluarkan paket Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bukan hanya itu, regim SBY bahkan membuat 3 kementerian yang bertugas langsung untuk mengentaskan kemiskinan, yakni Menteri Sosial, Kesejahteraan Rakyat dan Daerah Tertinggal. Bahkan akan ditambah kehadiran Hernandes de Soto sebagai penasehat presiden dalam pengentasan kemiskinan.
Namun logika dan paradigma pengentasan kemiskinan masih berbasis top-down. Pemerintah cenderung mengeluarkan paket kebijakan yang seringkali tidak dimengerti arah dan kegunaannya bagi masyarakat miskin. Bahkan banyak orang yang sebenarnya tidak miskin, “mengaku” miskin agar mendapatkan segepok fasilitas keluarga miskin, seperti beras murah dan pelayanan kesehatan gratis. Bagaimana tidak sekarang ini dana Askeskin bangkrut, baik karena penyimpangan di tingkat kebijakan ataupun ditingkat operasional. Rumah sakit sebagai pelaksana teknis tidak mau dipersalahkan karena pada prinsipnya mereka hanya melayani pasien. Bagaimana pula dengan adanya political will pemerintah untuk mendesak kepada perusahaan melakukan corporate social responsibility (CSR) tidak jelas, bahkan banyak dipertanyakan kalangan dunia usaha, baik karena persoalan mekanisme yang tidak komprehensif sampai ketidakpastian CSR dengan pembayaran pajak..
Berbagai fenomena pengentasan kemiskinan ini mensiratkan terjadinya Oligharkisme. Yakni pemerintah senantiasa memposisikan diri sebagai fihak yang paling tahu tentang cara pengentasan kemiskinan dan menempatkan masyarakat miskin sebagai obyek semata dan powerless, sehingga ada semacam klaim bahwa rakyat miskin tidak memiliki konsep untuk pengentasan kemiskinan terhadap dirinya. Langkah ini setidaknya sebagai cara menutupi ketimpangan pengelolaan strategi pembangunan yang cenderung memiskinkan sekelompok tertentu sebagai implikasi pemilihan stategi pertumbuhan ekonomi secara masif dan tidak mengimbanginya dengan strategi redistribusi pendapatan yang proporsional.
Justru oligharkisme kebijakan pengentasan kemiskinan inilah yang akan menciptakan komunitas masyarakat miskin palsu, yakni banyaknya keluarga tidak miskin mendapatkan asistensi pemerintah dengan merampas hak masyarakat miskin itu sendiri. Kondisi terdukung oleh ketidakberadaan data kemiskinan terpadu lintas lembaga, yang membuat celah bagi para orang miskin palsu ini masih besar. Seberapapun paket kredit, subsidi yang diberikan pemerintah namun tidak disertai dengan paradigma pengentasan kemiskinan dan data yang akurat hanya akan menghasilkan kesia-siaan bahkan semakin memarginalkan orang miskin.
Paradigma Baru
Paradigma pengentasan kemiskinan sudah selayaknya menempatkan orang miskin sebagai bagian elemen yang paling signifikan untuk dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan pengentasan kemiskinan sebagaimana nasehat Muhammad Yunus. Meskipun orang miskin adalah orang yang papa dan hopeless namun bukan berarti mereka tak punya ide cerdas yang sangat mungkin bisa mengurai benang kusut kemiskinan yang sedang melilitya.
Setidaknya ide cerdas Muhammad Yunus yang membuat Bank bagi kaum Miskin , Grameen Bank, membuktikan bahwa kaum miskin adalah masyarakat yang masih memiliki setumpuk ide dan harga diri, dan mampu bangkit dari keterpurukan dari sistem yang selama ini menjeratnya.
Segenap elemen bangsa, baik pemerintah, lembaga filantropi yang semakin marak, perusahaan dengan CSR-nya, lembaga keuangan, organisasi sosial-keagamaan-politik, lembaga pendidikan, dan komunitas masyarakat miskin harus bertanggung jawab untuk menjawab proses pengentasan kemiskinan secara sinergik. Tradisi oligharkhisme sedapat mungkin harus dipangkas, sehingga lembaga penyalur dana pengentasan tidak lagi menjadi “dewa” yang menentukan secara sefihak paket dan kebijakan pengentasan kaum papa.
Keberanian lembaga penyalur dana untuk sharing secara terbuka kepada kaum papa akan membangkitkan perasan egaliter bagi si-penerima paket bantuan. Tidak ada yang lebih mulia antara yang memberi dan menerima, semuanya adalah mulia jika mereka mempergunakan dana pengentasan kemiskinan secara amanah dan transparan. Semoga.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar